Thursday, May 20, 2010

Mendiknas ternyata orang Indie??

Kebagusan, 10:41 am
Saya baru tersadar kalau sebenarnya Mendiknas kita itu adalah orang indie saat membaca kembali artikel yang saya unduh dari situs Departemen Pendidikan Nasional. Ini kutipannya..

“Dalam sambutannya, Mendiknas mengatakan bahwa ada banyak kebiasaan-kebiasaan, budaya-budaya yang belum kita tumbuh kembangkan salah satu diantaranya adalah budaya apresiatif konstruktif. Biasakan kita itu untuk memberikan apresiasi kepada siapapun yang memberikan kontribusi positif baik itu lingkup kecil maupun lingkup besar, kenapa ini menjadi penting, kebiasaan memberikan apresiasi itu akan membangun lingkungan untuk tumbuh suburnya orang yang berprestasi itu", katanya.

Terus terang, saya adalah orang baru dalam dunia independen, khususnya di musik independen. Jadi harap maklum kalau pengertian saya tentang independensi dalam musik itu agak keliru atau bahkan tak benar sama sekali. Tapi sejauh saya membaca, melihat dan merasakan dunia ini, saya semakin cinta padanya. Salah satunya adalah karena dunia ini mengajarkan kepada saya arti penting dari sebuah “apresiasi”. Mungkin Mendiknas kita ini orang indie karena beliau menekankan akan arti pentingnya sebuah budaya apresiatif konstruktif baik dalam lingkup kecil dan dalam lingkup besar yang akhir-akhir ini saya sadari begitu kental dalam dunia musik independen.hehehe..ini hanya perkiraan saya saja.

Selama saya hidup berdampingan dengan dunia independen (baru 1,5 tahun di Malang), saya benar-benar merasakan satu bentuk budaya apresiatif yang luar biasa.Mestinya pak Nuh, melihat hal ini pak..:D
Sebelum membahas tentang apresiasi ini, saya ingin sekali menuliskan beberapa pemahaman saya tentang musik independen ini. Sebaca saya, musik independen adalah musik-musik yang memiliki jalur berbeda dari musik-musik major yang komersil (yang saat ini sedang menjadi arus utama atau mainstream). Perbedaan ini kental terlihat pada bentuk pemasarannya. Mulai rekaman, distribusi hingga promosi dilakukan secara swadaya atau yang populer dikenal dengan sebutan etika D.I.Y (Do It Yourself). Etika Do It Yourself ini mengajarkan pada semua orang bahwa semua manusia di bumi ini dapat menjadi besar tanpa perlu menggantungkan diri kepada orang lain. Dengan pemahaman ini, maka tak heran jika musik-musik independen yang banyak beredar di negeri ini bagi sebagian orang terdengar janggal atau malah tak ber-skill. Bahkan liriknya banyak yang nihil sama sekali.
Jika ini yang terjadi dalam industri major, pasti para pemilik label itu akan membuang jauh-jauh jenis musik seperti ini karena dianggap tak menguntungkan secara finansial. Yaa..pasti anda-anda semua sudah tahulah tabiat para label major ini.

Tapi coba perhatikan apa yang terjadi pada musik-musik ini di dunia independen…

Musik-musik yang bagi orang di luar sana terdengar janggal dan aneh, di dunia independen menjadi musik yang bagus. Kenapa?karena orang-orang indie bukan hanya sekedar penikmat musik sejati, tapi mereka juga adalah pemerhati musik yang setia. Sehingga mereka akan benar-benar menilai musik itu secara kualitas tidak dari seberapa tingginya tingkat kemungkinan musik tersebut untuk menghasilkan keuntungan bagi musisinya. Mereka akan mendengar alunan nadanya, petikan gitarnya, gebukan drumnya, atau bahkan membaca liriknya dan mengenal personelnya dengan seksama. Jika ada yang kurang berkenan di telinga bahkan di hati, maka mereka pun akan menyampaikan pendapat mereka dengan bersahabat. Sehingga yang menerima kritik pun akan semakin termotivasi untuk membuat musik yang jauh berkualitas dari sebelumnya. Dan, hebatnya lagi, para musisi indie ini tak segan untuk berbagi ilmu sehingga ikut mencerdaskan yang lain.

Selain itu, para manusia-manusia indie ini pun tak segan untuk membeli CD atau kaset-kaset musik indie yang mereka anggap berkualitas. Mereka membeli bukan karena musik itu jadi tren, tapi lebih karena musik itu bagus. Jadi jangan heran, jika di dalam i-pod mereka kebanyakan berisi musik-musik dari musisi yang tak terkenal. Mereka juga rela membeli karena mereka mengganggap bahwa proses pembelian terhadap suatu karya musik adalah sama dengan sebuah apresiasi. Saya saja sampai terkaget-kaget ketika melihat list lagu teman saya yang tidak ada satupun dari musik itu yang pernah saya dengar atau saya kenal musisinya dan bagusnya kebanyakan dari musik-musik itu terlahir dari cd-cd original yang ia beli di toko kaset. Wuihhh..

Pengalaman ini kemudian mengajarkan kepada saya bahwa independensi dalam bermusik memberikan keleluasaan bagi banyak orang untuk menjadi besar dengan kemampuannya sendiri. Independen kemudian memberikan pembenaran akan sebuah kreativitas yang tak berbatas. Dan independen juga menawarkan kebebasan yang hakiki untuk menyenangi sebuah musik, terlepas dari apakah musik itu populer atau tidak. Sebuah dunia independensi yang mampu membangun lingkungan untuk tumbuh besarnya orang-orang berprestasi, seperti harapan bapak Mendiknas..
Hidup (lah) musik Independen!!!

Wednesday, May 19, 2010

Pramuka Tanpa “Busana”


Saat Pramuka di Indonesia hanya tentang perkemahan dan nyanyian, “UP” membuat Pramuka bersinar di antara koleksi badges dan tepukan kebanggaan. Sebuah keadaan yang membuat saya iri setengah mati karena dulu tepukan hanya dapat saya rasakan saat menyanyikan lagu-lagu Pramuka. Seperti “Tepuk Gareng”, “Tepuk Petruk”, hingga tepuk-tepuk yang bernama makanan seperti “Tepuk Singkong” bahkan “Tepuk Sambal” selain tepuk wajib pramuka itu sendiri.

“UP” adalah salah satu film keren yang saya tonton hingga 4 kali. Selain karena gambarnya yang begitu mengagumkan juga karena ada Russel, seorang anak berumur sekitar 7-9 tahun yang sangat pemberani. Dengan ransel dan badges miliknya, ia terlihat seperti petualang sejati yang siap beraksi dengan teriakan khasnya, “Rwarr..rwarr…rwarr”. Bentuk tubuhnya yang tambun tak menghalangi jalannya untuk bergerak lentur. Sikap apa adanya yang ia tunjukkan mampu membuat saya tersenyum geli sebagai rasa maklum saya karena usianya yang masih sangat muda. Apalagi ketika dia mengatakan “Snipe”, mulutnya berubah lucu nan lugu. Russel, saya akui sukses membuat saya jatuh cinta padanya, jadi maaf kalau saya hanya menceritakan dirinya dalam tulisan ini. Namun, bukan berarti saya tak menyukai tokoh lainnya, hanya saja Russel lah yang mampu mengingatkan saya tentang arti menjadi seorang “pahlawan”.
Russel, bagi saya adalah satu contoh bagaimana pendidikan moral yang diajarkan di luar sekolah dapat menjadi bekal yang membuatnya berhasil mendapatkan tepukan kebanggaan dari keluarga, teman,dan orang-orang sekitarnya tanpa membuatnya menjadi sebuah kewajiban yang menyesakkan. Ia, menurut saya adalah seorang pramuka sejati dan seharusnya begitulah pendidikan ke-pramuka-an yang diajarkan kepada pemuda-pemudi Indonesia. Pantang menyerah, berani, mandiri, jujur, cinta damai, dan sikap-sikap “pahlawan” lainnya.

Masih terasa oleh saya bagaimana nasib pendidikan di negara ini. Sebagian besar generasi muda Indonesia mulai kehilangan sikap-sikap “pahlawan” yang sebenarnya diperlukan oleh bangsa ini untuk menyelamatkannya dari jurang degradasi mental. Pendidikan formal di sekolah kemudian menjadi benar-benar hanya formalitas belaka untuk bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sehingga, siswa-siswa yang datang dan duduk di bangku sekolah tak benar-benar meresapi apa yang mereka dapat dan bagaimana seharusnya mereka mempergunakan pengetahuan itu bagi orang lain. Jadi, tak kaget jika banyak yang salah mengartikan kegunaan pengetahuan adalah untuk mendapatkan nilai bagus atau sekedar untuk “membantu” teman lain saat ujian (yang sayangnya sering diajarkan oleh gurunya sendiri.ckckck) daripada untuk menjadi pemuda Indonesia sejati.

Pramuka bagi saya adalah salah satu kegiatan yang sebenarnya dapat digunakan untuk membantu anak-anak untuk mengerti tentang apa sebenarnya arti dari menjadi pemuda Indonesia. Untuk menjadi “pahlawan”. Sebuah kegiatan yang meski berjalan di luar sekolah namun mampu memberikan pendidikan yang lebih penting dari pendidikan formal itu sendiri. Pendidikan tentang kejujuran, kebersamaan hingga cinta damai dalam setiap janji-janjinya sehingga anak-anak sadar bahwa janji adalah sikap. Pendidikan tentang kedisiplinan sekaligus keteraturan dalam pelajaran baris-berbarisnya. Pendidikan tentang menciptakan sebuah senyuman dalam setiap nyanyiannya. Dan pendidikan yang mengajarkan untuk bangga pada negaranya dalam setiap langkah dan atribut seragamnya (terutama pada dasi yang sangat merah putih).

Dulu saat saya masih SD, saya tak terlalu getol mengikuti pramuka. Hal ini murni karena kesalahan kepala sekolah saya yang mewajibkan Pramuka untuk diikuti oleh semua siswa dan membuat saya berkeyakinan bahwa Pramuka adalah kegiatan yang membosankan hingga sang Kepsek harus membuatnya menjadi kegiatan wajib (bahkan syarat kelulusan!!). Status wajib inipun terasa sedikit dipaksakan karena akhirnya pada hari Jumat dan Sabtu saya harus menggunakan baju khas pramuka berwarna coklat dengan dasi merah putih ditambah dengan topi rajut, sebagai perwujudan status saya sebagai anak Pramuka. O,ya ditambah dengan pisau karatan yang tergantung di sabuk kulit dimana lebih sering digunakan sebagai pisau dapur saat bermain masak-masakan daripada sebagai alat pemotong tali saat membuat tandu. Saya pun selalu datang pada hari Sabtu sore dengan perasaan malas luar biasa hanya agar buku Siaga saya penuh dengan contrengan “hadir” dan berhak untuk mendapatkan buku Penggalang. Buku yang dulu lupa diberikan oleh kakak pembina sehingga saya praktis terus menjadi Siaga saat itu dan tiba-tiba berubah menjadi Penggalang saat SMP tanpa ada pemberitahuan dan upacara pengangkatan.

Pada zaman itu, saya menganggap Pramuka hanya sebagai pelengkap kegiatan di akhir minggu. Kegiatan yang berkutat dengan nyanyian plus tepukan khas, perkemahan, baris-berbaris, dan ritual lainnya. Sebuah kegiatan yang mulai saya lupakan keberadaannya hingga saya sama sekali tak memikirkan tentang Pramuka lagi meski adik saya masih rajin menggunakan baju cokelatnya di hari Jumat dan Sabtu. Hal ini semua terjadi karena mereka hanya mengajak saya menikmati kegiatan Pramuka tanpa menanamkan dengan pasti apa arti sebenarnya menjadi Pramuka dan apa yang harus saya lakukan dengan predikat anak Pramuka bagi negeri ini. Namun itu semua berubah saat saya menonton “UP” dan melihat Russel sebagai “A Wilderness Explorer” dengan deretan badges bordir keren di badannya. Saya lalu terobsesi dengan kegiatan ke-Pramuka-an. Saat ini, saya bahkan berharap mempunyai ransel seberat dan seramai milik Russel untuk menemani saya dalam petualangan saya. Petualangan untuk belajar tentang banyak hal dan kemudian menggunakannya untuk menolong orang sekitar. Pengetahuan yang tidak hanya berhenti pada kegiatan perkemahan atau Jambore nasional.

Jika saja Pramuka di Indonesia dapat menciptakan generasi mental seperti Russel, saya tentu tak akan malas luar biasa untuk menghadiri pertemuan setiap Sabtu sore sambil membawa buku saku saya dan mulai bernyanyi lagu Pramuka dengan bangga karena akhirnya badges Pramuka saya tak hanya sekedar busana.
Pramuka…Pramuka..Praja Muda Karana..Yeee!!!!!!!!plok..plok..plok..plok…